“If you feel lost, disappointed, hesitant, or weak, return to yourself, to who you are, here and now and when you get there, you will discover yourself, like a lotus flower in full bloom, even in a muddy pond, beautiful and strong.”
Masaru Emoto, Secret Life of Water

Rabu, 14 Desember 2016

Sarjana Psikologi Biasa

Namaku Rangga, bagi yang belum kenal. Saat ini umurku 24 tahun, menuju 25 tahun, 6 bulan lagi. Saat ini aku bekerja di suatu perusahaan swasta, di bagian SDM. Jika kamu membayangkan pekerjaanku mengembangkan orang dan sebagainya, kamu salah besar. Pekerjaanku terbilang cukup "membosankan" karena hanya berkisar administrasi di bagian tersebut. Mungkin sebenarnya semua pekerjaan itu membosankan, jika hanya berada di dalam perusahaan dan kamu tidak memiliki passion dalam bekerja.

Aku hanya memiliki satu gelar, S.Psi. Sarjana Psikologi, yang ku dapatkan dalam waktu yang cukup lama, yaitu 6 tahun. 5 tahun 9 bulan lebih tepatnya. Sampai saat ini, aku masih ingin memiliki gelar 'dr.' di depan namaku dan 'Sp.A' di belakang namaku. Namun, semuanya kandas karena mungkin kemampuan otakku tidak bisa membuat aku lolos masuk ke fakultas yang dituju dan juga mungkin guratan nasib yang membuat aku tidakk masuk. Selain itu, aku baru merasa kalau aku tidak cocok dengan anak. Jadi, mungkin ini memang jalan yang terbaik.


Aku salah satu orang yang bisa dibilang kerjanya lama, namun aku selalu memastikan pekerjaanku terhindar dari kesalahan (zero error). Sangat kesal ketika orang memaksa aku untuk bekerja cepat tapi ingin hasil yang maksimal. Mungkin aku saja yang tidak kompeten dan terbiasa dengan hal tersebut. Sejak kecil aku merasa dididik dengan hal tersebut: mengembalikan lagi barang ke tempat semula (jika tidak, pasti dimarahi habis-habisan, oleh Mamah tentunya), membeli barang sesuai dengan pesanan (belanja ke warung), dan sebagainya. Ketika berbicara kasar, aku selalu dimarahi (dan dipukul, yang aku ingat). Diomeli ketika kehilangan uang kembalian, yang lepas dari genggaman ketika pulang dari warung, dan sebagainya. Masa kecilku penuh dengan keteraturan dan kesempurnaan. Aku "diharuskan" juara kelas dan masuk ke SMP favorit. Aku pun sering tidak masuk sekolah karena sering sakit-sakitan. Intinya, aku sudah berbeda dan merasa berbeda sejak kecil.

Saat ini, aku sedang merasa dalam masa stuck di kehidupan. Aku harus kerja, tapi aku ingin kuliah. Keterbatasan-keterbatasan banyak bermunculan hari demi hari. Kalian mungkin akan bilang, "Ya, sudah. Kalau mau kuliah, ambil saja beasiswa." Tapi, selalu ada tapi, banyak hal-hal yang berkaitan dengan keluarga yang bikin aku berpikir jutaan kali untuk menghilangkan keinginanku dan menjalani kebutuhanku.

Sebagai Sarjana Psikologi, pekerjaanku bisa dibilang 80% berhubungan dengan layar komputer. 20% dengan orang. Dulu, aku membayangkan pekerjaan anak psikologi itu mengasyikan. Selagi ada manusia, kita bisa kerja. Tapi, mungkin aku salah. Aku tidak menikmati pekerjaanku saat ini. Saat ini aku bekerja karena kebutuhan, bukan keinginan. Sebenarnya hal-hal dalam pekerjaanku sekarang bukan hal yang baru. Aku sudah terbiasa dengan rutinitas dan prosedur, sejak masih kecil. Namun, apa yang salah sehingga aku tidak menikmati? Mungkin aku hanya bosan 24 tahun berada di Bandung.

Bisa dibilang, aku menjadikan media sosial sebagai rumah pertama untuk lari. Ketika kesal, senang, marah, sedih, pasti tempat pertama yang aku datangi adalah media sosial. Cukup menyenangkan, menulis dan mengunggah sesuatu tapi tidak berhadapan dengan orang langsung. Jika tidak sesuai, bisa diabaikan, dihapus, atau bahkan diblok. Sering kali, akupun sering membandingkan hidup dengan teman-teman lain. Secara tidak sadar, aku punya prinsip, "Life is a competition." Karena dari dulu aku diharuskan untuk juara kelas, masuk A, menang B, dan seterusnya, mungkin motto hidup aku sedikit demi sedikit terinternalisasi sebagai, "Life is a competition." Jujur saja, dengan lamanya aku lulus, menghancurkan setengah self esteem aku, dan mungkin menghancurkan setengah hidupku. Dulu, setelah gagal menjadi dokter dan masuk ke Psikologi, aku langsung membuat target lulus tepat waktu, lanjut S2 langsung, jadi Psikolog Anak, buka praktik, dan hidup mapan. Kenyataannya berubah 180°, tak bisa dipungkiri lagi.

"I want to reset my life."

Atau

"I want to delete my life."

Kalimat-kalimat tersebut sering aku katakan di dalam hati ketika aku merasa sudah stuck dengan kehidupan. Merasa tidak ada jalan lain selain melakukan hal yang tidak aku sukai untuk hidup. Banyaknya "lintah" yang aku temui dalam keseharian, makin membuat aku ingin benar-benar menghapus kehidupan.

"Syukur."

Kata beberapa orang, aku kurang bersyukur dengan keadaan. I've tried. Tapi semua selalu kembali ke asal sebagai orang dengan motto, "Life is competition." Seharusnya siapa yang disalahkan? Bukan kah inti dari kehidupan itu adalah mencari siapa yang bisa disalahkan? Bahkan orang yang berniat baik pun bisa dikriminalisasi oleh media. Media memainkan perasaan orang-orang yang berada di dalam grup itu dan kemudian akan memunculkan kepemilikan in-group.

Melihat teman-teman mendapatkan pekerjaan yang bisa mengembangkan diri, pergi ke banyak seminar, bertemu banyak orang hebat, atau bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi membuat aku iri. Ya, pada akhirnya aku hanya seorang Sarjana Psikologi Biasa, yang hanya bisa mengeluh mengenai hidup, tanpa bisa melakukan apa-apa. Ketika melakukan apa-apa, semua akan hancur, dan aku harus kembali menjalani hidup sebagai Sarjana Psikologi Biasa. Kalau bahasa sinetron, "Gue tuh salah apa sih sampe harus ngejalanin hidup kaya gini?" Aku selalu berpikir semua yang terjadi selalu kebetulan. Ada orang kehilangan barang, memang karena dia orangnya teledor atau memang dia kurang berbagi dengan orang lain. Itu sih yang aku percaya. Balasan Allah selalu terlihat. Kalau jaman dulu Azab langsung datang, kalau jaman sekarang, tidak terlalu nampak, atau bisa jadi nanti ketika orang itu tidak hidup.

Tapi, bukan kah hidup itu sederhana? Sesederhana memilih kiri atau kanan ketika akan pulang ke rumah. Jika memilih ke kiri, kamu bisa membeli nasi goreng untuk mengisi perutmu yang lapar sebelum sampai rumah. Sedangkan jika memilih kanan, kamu akan cepat sampai ke rumah, tapi dengan kondisi lapar. Tapi, bisa jadi sesampainya di rumah, bisa saja ada tetangga yang memberikan makanan karena ada syukuran kelahiran anaknya. Jika kamu memilih kiri, mungkin makanan itu akan mubadzir karena kamu sudah kenyang. Jika memilih kanan, makanan itu bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Jadi, mungkin aku harus menjalani hidup sebagai Sarjana Psikologi Biasa dulu. Tapi, mungkin memang jalanku hanya menjadi Sarjana Psikologi Biasa.

Aku gak tau harus menutup tulisan ini dengan apa. Sama seperti tulisan-tulisanku sebelumnya, selalu menggantung atau membingungkan pada akhirnya. Terlalu sering membuka, namun kesulitan menutup.

1 komentar:

  1. Catatan: bukan berusaha untuk terlihat bijak, hanya ingin berbagi lewat sajak.

    Tentu, kita tidak akan pernah ada di kondisi yang sama
    Sebagaimana aku, dan mungkin kamu tahu, begitu cara kerja dunia
    Walaupun semua manusia terbentuk dari sperma,
    Aku, kamu, dia, mereka, kita semua ditempa menjadi sosok yang berbeda

    Perbedaan yang ada senantiasa melekat sampai kita semua mati
    Dikubur, ditimbun tanah, di dalam liang lahat sendiri
    Bertanggungjawab terhadap segala hal yang telah dilakukan, terlihat maupun tertutupi
    Di dalam persidangan, penentuan hidup yang nanti

    Terakhir ku tahu, kamu masih meyakini adanya Tuhan
    Dan tetap menjalankan apa yang telah diperintahkan
    Jika kamu lupa, dengan senang hati ku ingatkan
    Sesungguhnya kita berada di pelukanNya, tidak pernah ditinggalkan

    Maka saat dirimu merasa lemah, mengadulah kepada Yang Mahakuat
    Setiap kali kamu merasa tak berdaya, beharaplah kepada Yang Mahahebat
    Jika kamu merasa diabaikan, mendekatlah kepada Yang Mahamelihat
    Mintalah, karena saat Ia ingin, akan terjadi bahkan lebih cepat dari kilat.

    Tenanglah, Tuhan tak akan pernah tidur

    Kamu berhak untuk merasa biasa
    Tetapi untukku, kita semua luar biasa
    Kamu bebas merasa tak berguna
    Tetapi untukku, dan terutama untukku, kamu banyak berjasa

    Tulus
    Dari salah satu dari sekian banyak orang yang kamu sayang

    BalasHapus

What do you think??