“If you feel lost, disappointed, hesitant, or weak, return to yourself, to who you are, here and now and when you get there, you will discover yourself, like a lotus flower in full bloom, even in a muddy pond, beautiful and strong.”
Masaru Emoto, Secret Life of Water

Minggu, 17 Februari 2013

"Jodoh itu di tangan orang tua"

"...Jodoh itu di tangan orang tua", begitu lah kalimat yang terlontar dari seorang teman KKN bernama, sebut saja Hary. Dengan nada ketus, dia menggumamkan kalimat itu ketika seorang teman ada yang sedang melakukan sesi bersama para wanita. Dia, berada di luar sesi, bersama aku, Dea, dan Gege. Sebelumnya, aku pernah mendengar kata-kata itu, sama, terlontar dari mulutnya, namun di suasana yang berbeda. Hal ini membuat aku berpikir, "Bener juga ya?".


Selama ini aku kurang setuju dengan anggapan kalau jodoh itu di tangan Tuhan. Memang, Tuhan mengambil andil yang besar dalam penentuan jodoh kita, yang mungkin sudah dituliskan sebelum kita lahir (ini disebut qada atau qadar ya?). Tapi pernyataan ini sering kali disalahartikan oleh orang-orang, terutama di sekitar aku. Dengan dalih jodoh di tangan Tuhan, mereka rajin berdoa untuk mendapatkan jodoh, tanpa usaha. Bagi aku, berdoa kepada Tuhan untuk jodoh bagaikan meminta persetujuan, tapi kalau ga ada usaha, gimana mau dapet? Hal ini sama seperti kamu mau mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Kamu meminta persetujuan sama orang tua buat tinggal dan belajar di luar negeri. Tapi, kalau kamu ga ada usaha, gimana mau dapet beasiswa itu? Dimana kamu ga pernah sekali pun nge-apply satu pun beasiswa yang ada di dunia ini. Hanya sedikit orang yang dapat keberuntungan dimana dia yang disamperin jodohnya, kalau dimasukin ke dalam contoh, beasiswanya yang nyamperin, karena mereka memang pantas untuk disamperin.

Sebagai orang yang banyak menerima nilai dan norma dari lingkungan luar, aku menjadi orang yang parnoan. Dengan menggabungkan norma dan nilai tersebut, aku terkadang jadi takut untuk berpacaran. Aneh emang, di saat semua orang mendukung aku untuk mencari pendamping, aku masih aja stuck di orang yang sama, hampir sewindu, dan dia masih  bersama cowo lain. Bodoh, emang. Banyak ketakutan-ketakutan yang muncul di dalam pikiran aku: aku takut pacar aku nanti nuntut macem-macem, aku takut nanti pacar aku ga nerima aku apa adanya, dan masih banyak kalimat aku takut lainnya. Jika ditelaah, selama ini, untuk urusan percintaan, aku ga pernah usaha. Jujur aja, aku masih punya impian kaya sinetron-sinetron gitu: jadi cowo yang dikagumi banyak cewe, dikejar sama cewe-cewe, dan aku pacaran sama cewe yang paling cantik di sekolah. Doh, bocah banget ya -_-

Permasalahan muncul ketika aku ditampar oleh kenyataan: aku memasuki dewasa awal dan aku baru pacaran sekali dan itu pun cuma bertahan seminggu. Sekarang aku mengesampingkan target kalau aku mau menikah muda, di usia 27. Ketika membaca buku Cinta Tidak Harus Mati karya Om Henry Manampiring, aku dipukul mentah-mentah lagi. Selama ini aku mencintai jadwal aku. Jadwal di sini adalah aku menikah di usia 27 tahun. Aku belum mencoba untuk mencintai orang lain. Mencintai dia apa adanya. Jadi muncul pertanyaan, rasa suka aku sama si Chubby, panggilan si wanita sewindu, apakah berdasarkan aku suka sama dia atau aku terkejar oleh jadwal aku?

Selanjutnya, orang tua. Orang tua menjadi krusial dalam penentuan jodoh. Aku baru tertampar kalau hal itu benar, setelah mendengar pernyataan yang dilontarkan Hary. Secara ga sadar orang tua aku, terutama Mamah, mendoktrin aku untuk mencari pacar/istri yang sesuai dengan selera beliau: mirip Ririn atau mirip Syahrini. Jadi, yang sebenernya mau pacaran itu siapa ya? Tapi, slowly but sure, doktrin itu nyampe ke unconscious mind aku dan terkadang ketika dikenalin sama seorang cewe oleh teman, langsung muncul pemikiran: cewe ini kalau dikenalin ke mamah gimana ya? Nah! Hal yang terjadi adalah: aku masih takut mendapatkan penilaian yang gak sesuai dengan harapan lingkungan. Mungkin aku melewati tahapan Trust versus Mistrust menjadi seseorang yang Mistrust. Bisa jadi. Mungkin saja tahapan Autonomy versus Shame and Doubt aku melewatkan sebagai Shame and Doubt karena aku ragu-ragu untuk memilih wanita mana yang memang tepat untuk aku.

Sebelum semuanya ngelantur, aku membuat pernyataan yang aku simpulkan dari semua yang ada:
"jodoh itu di tangan Tuhan (dan orang tua) dan disertai usaha dari orang yang bersangkutan"

1 komentar:

What do you think??