“If you feel lost, disappointed, hesitant, or weak, return to yourself, to who you are, here and now and when you get there, you will discover yourself, like a lotus flower in full bloom, even in a muddy pond, beautiful and strong.”
Masaru Emoto, Secret Life of Water

Rabu, 14 Desember 2016

Sarjana Psikologi Biasa

Namaku Rangga, bagi yang belum kenal. Saat ini umurku 24 tahun, menuju 25 tahun, 6 bulan lagi. Saat ini aku bekerja di suatu perusahaan swasta, di bagian SDM. Jika kamu membayangkan pekerjaanku mengembangkan orang dan sebagainya, kamu salah besar. Pekerjaanku terbilang cukup "membosankan" karena hanya berkisar administrasi di bagian tersebut. Mungkin sebenarnya semua pekerjaan itu membosankan, jika hanya berada di dalam perusahaan dan kamu tidak memiliki passion dalam bekerja.

Aku hanya memiliki satu gelar, S.Psi. Sarjana Psikologi, yang ku dapatkan dalam waktu yang cukup lama, yaitu 6 tahun. 5 tahun 9 bulan lebih tepatnya. Sampai saat ini, aku masih ingin memiliki gelar 'dr.' di depan namaku dan 'Sp.A' di belakang namaku. Namun, semuanya kandas karena mungkin kemampuan otakku tidak bisa membuat aku lolos masuk ke fakultas yang dituju dan juga mungkin guratan nasib yang membuat aku tidakk masuk. Selain itu, aku baru merasa kalau aku tidak cocok dengan anak. Jadi, mungkin ini memang jalan yang terbaik.

Minggu, 03 Januari 2016

Ya Udah

Hey, it's two thousand fucking sixteen!!! (read: 2016)

Ya, itu adalah umpatan pertama (melalui tulisan) di tahun 2016. Agak happy, agak sad, agak campur aduk ya. Rasanya baru kemarin lahir, baru belajar jalan, taunya sekarang udah harus nikah aja (?). Entah udah berapa ribu jam aku gak nulis, terutama nulis di blog. My life's been like a roller coaster these past days, but let's ride it, bitches!

Sebagai update terbaru, akhirnya aku menjadi pegawai kantoran (yay!). Ya, baru tepat sebulan aku berada di kantor tersebut, dan bulan ini aku official jadi pegawai kontrak. Sedikit cerita, awalnya aku masuk buat MT selama 3 bulan. Namun, entah kenapa kepala divisiku bilang kayanya lebih enak sebulan aja, dan kemudian mengajukan surat untuk kontrak, dan diterima pengajuannya. Rasanya mix banget, antara happy dan confused.

Menurut beberapa orang, kantorku ini berpotensi besar. Kantornya sih umurnya baru setaun saat ku masuk. Ya, potensinya mungkin dari segi jenjang karir dan potensi lainnya. Beberapa orang sering tanya ke aku, "berapa salary-nya?". Entah kenapa, bagi beberapa orang, ditanya mengenai salary itu sesuatu hal yang sensitif, sensitif yang mungkin aja responnya bisa setara kalau lagi diganggu pas PMS. Entah kenapa, aku gak pernah menjawab secara spesifik berapa (kecuali ke orang yang emang dekat) tetapi aku kasih range sekitar A sampai B. Dan aku yakin, kalau kamu denger jawabannya, pasti respon kamu "Kok mau? Kamu bisa dapet yang lebih tinggi di kota besar atau minimal di perusahaan lain." Responku selalu, "Ya udah".

Ya. Entah kenapa, respon "Ya udah" adalah respon yang lagi aku gandrungi, kaya aku menggandrungi T-ara.

Aku lulus lama, "Ya udah".
Lulus kuliah disusul angkatan bawah, "Ya udah".
Temen-temen udah mulai pada lamaran dan nikah, "Ya udah".
Salary di bawah UMR, "Ya udah".
Kemungkinan untuk lanjut kuliah S2 psikologi menjadi tak mungkin, "Ya udah".
"Ya udah".

"Ya udah" itu semacam defense mechanism aku saat ini. "Ya udah" di mulut, beberapa detik kemudian, rasanya ada yang salah di hati. "Ya udah" menjadi suatu stimulus-respon, ketika stimulusnya, secara gak sadar, aku anggap 'menyerang' pride aku. "Ya udah" adalah jawaban yang tidak akan memicu pertanyaan tambahan dari lawan bicara (sejauh ini sih begitu). Padahal, beberapa kali, ketika aku bilang, "Ya udah", aku rasanya menangis dalam hati. Terutama untuk masalah "lanjut kuliah".

Sebulan ini, aku lagi berusaha untuk 'berlari', mengejar tempo orang-orang di kantor. Agak sedih sih, MT cuma sendirian, jadi ga punya temen buat lari. Aku merasa kaya lari sendiri. Ketika jatuh, cuma satu dua orang aja yang bantu aku bangun dan aku harus lari lagi ketika kakiku masih terasa nyeri dan berdarah. Seperti itu lah mungkin metafora sebulan aku di kantor baru. Terkadang, "Ya udah", gak bisa membuat diri sendiri menjadi "okay", tapi setidaknya lingkungan yang "okay". Terkadang, malah jadi backfire, dimana aku suka tiba-tiba cirambay, duduk di angkot pas pulang kerja tiba-tiba air mata ngucur. Dengan kondisi aku (dan sekitarku) yang seperti ini, menjadi psikolog adalah bukan menjadi sebuah pilihan, melainkan jadi mimpi, yang di setiap doa aku masih santer-santernya untuk terwujud.

"Ya udah".

True story. Ketika aku nulis paragraf di atas, di dalam otak aku terlintas kata-kata, "Ya udah". Is it that bad?

Setelah dipikir-pikir lagi, hal ini menjadi tidak sehat untuk ke-well being-an aku sebagai manusia. Tapi aku yakin, belum waktunya semua hal-hal itu terwujud.

Dulu, aku sempat berdoa, "Ya Allah, kabulkan lah doa-doaku sesuai dengan waktu yang Engkau ridoi", satu-demi satu semuanya terwujud. Mungkin tidak semulus dan secepat beberapa orang (contoh: temen kuliah, angkatan bawah, lulus cepat, minat di bidang konsumen, langsung dapet beasiswa LPDP ke Belanda untuk psikologi konsumen). Tapi aku sekarang yakin, akan ada waktunya semua doa-doa aku akan jatuh menjadi perwujudan keinginan aku di dunia. Tinggal tunggu waktu aja.

"Ya udah".

Rabu, 21 Oktober 2015

Social Media

Ngomong-ngomong soal social media, beberapa hari (mungkin lebih tepatnya beberapa minggu) ke belakang, aku sedang berusaha mereduksi teman di Facebook. Salah satu tujuannya adalah membuat hidup aku agak terbatas di lingkaran yang tidak terlalu besar.

Emang temen di Facebook kamu kenapa?

Mungkin bakal muncul pertanyaan semacam ini, yang mungkin akan agak sulit untuk dijawab.

Bayangkan saja, dulu aku adalah seorang anak remaja yang ingin mengeksistensikan diri, dikenal orang banyak, ingin setiap postingan di-like banyak orang. Salah satu caranya (yang ku pikir saat itu) adalah menerima semua permintaan pertemanan, dengan cara tersebut diharapkan bahwa akan banyak orang yang melihat postinganku dan, dengan harapan lain, mereka me-like postingan tersebut. Ternyata semuanya salah, dan aku baru menyadarinya ketika masuk ke dunia kuliah (lebih tepatnya setahun ke belakang).

Mungkin salah satu cara yang efektif reduksi adalah menghapus orang yang tidak terlalu dikenal ketika mereka sedang berulang tahun. It's kinda mean tbh. Maksudnya, it should be their happy day, not their being-unfriended day. Well, singkat cerita, I've done that, sekitar beberapa minggu, karena aku menjadi bosan harus menunggu notifikasi ulang tahun muncul setiap paginya (catatan: dulu, rasanya belum ada upcoming birthday event di Facebook, rasanya sih). Pada akhirnya, teman di Facebook-ku masih mencapai angka 2000 sekian, tapi aku gak yakin aku kenal setengah dari orang-orang tersebut tersebut.

Karena terlalu malas untuk membuka tab friend list (trust me, I did it, but it turned out to be boring, and the first 500 friend is your close friend, so I decided not to do this method  anymore), akhirnya aku pun mencoba untuk menyaring apa yang pernah aku posting saja, so it's all about me at the end.

Ketika postingan tersebut, agak aneh dan alay, aku hapus (demi kebaikanku). Tidak jarang, aku google-ing namaku, dan mengecek hasil pencarian sampai halaman 10 dan melihat hasil pencarian gambar juga. Trust me (again), this method works whatever it takes. Kamu mungkin akan menemukan foto kamu jaman sekolah dengan angle 130 derajat dihitung dari permukaan tanah ke posisi serong atas atau bahkan foto-fotomu melakukan duckface. Kunci dari metode ini adalah, pastikan kalau kamu memegang kendali penuh atas social media kamu, maksudnya, kamu masih ingat semua password dari semua social media yang kamu daftarkan, or at least, you register with the same e-mail, jadi kalau lupa, bisa minta password di-reset dan password baru dikirim melalui e-mail. Dan metode ini pun berhasil menjaga harga diriku.

Setelah beberapa hari mencoba metode yang penting data diri yang terkontrol terlebih dahulu, urusan teman di Facebook bisa diakali, aku pun banyak menemukan pelajaran. Satu di antaranya adalah kok bisa ya dulu aku sering ngombol dengan orang ini sedangkan sekarang udah hilang kontak. Aku bukan orang yang mudah mengingat hal kecil. Sehingga ketika akan unfriend orang, aku akan lihat menu see friendship, dan di situ adalah pertimbanganku untuk jadi unfriend atau tetap berteman.

Aku gak tau apa yang terjadi, sampai akhirnya komunikasi dengan teman maya itu bisa berhenti. Kebanyakan mereka adik kelas SMA, dan telah sukses dengan caranya masing-masing: menikah, lulus, lanjut kuliah di luar, bertemu artis, menjadi artis. Entah kenapa ada perasaan enggan untuk unfriend mereka, padahal aku sendiri pun merasa gak punya kelekatan dengan mereka saat ini. Mungkin salah satu pertimbangannya adalah aku senang membaca tulisan lamaku. Walaupun tulisan-tulisan aku agak cocky dan terdengar didewasa-dewasakan, tapi aku jadi bisa mengenal siapa aku sebelum kehidupan ini, sebelum kehidupan frustrasi entah akan menjadi apa aku ini. Aku selalu berharap punya teman dekat, dan ketika membaca tulisan lamaku, aku merasa punya teman. Teman yang tulisannya berantakan, kadang dia berbicara sok bijak kepada pembacanya, kadang terlalu dramatis dan melebih-lebihkan momen kecil, atau memang tulisan itu tidak sengaja bertujuan untuk memotivasi Rangga masa depan (secara tidak sadar).

Salah satu tulisan tahun 2011 yang bikin aku melek lagi adalah tulisan mengenai Take The Right Next Step di notes Facebook (Hey, I just realize (again) that this feature exist on Facebook, sorry).

Banyak orang yang ga mau berhubungan dengan masa lalunya, aku pun dulu berpikir seperti itu. Namun, aku merasa, masa lalu bisa menjadi teman untuk bercermin, mendiskusikan apa yang harus dilakukan, atau sekedar katarsis. Tapi, satu kuncinya adalah jangan terlalu berlarut dalam masa lalu itu. Jadikan masa lalu cermin yang bisa mengarahkan ke masa-masa selanjutnya yang lebih baik (mungkin kalau Rangga masa depan baca ini, pasti agak geli dengernya).

Semoga, beberapa tahun ke depan, ketika Rangga masa depan sedang kebingungan dan tidak tahu harus melakukan apa, dia bisa melihat tulisan ini, sehingga dia gak bakal kesepian, ketika tidak ada orang yang bisa dia andalkan. Rangga-Rangga masa lalu akan selalu ada di belakang Rangga masa depan untuk menopangnya menjadi lebih kuat.

Kamis, 01 Oktober 2015

Hey, and What I watch - Limitless [2015]

Hey, guys. How's life? Been awhile since the last post. Well, just quick update, finally I graduated (yeay!) and now I am officially unemployment (yeay, again). So, I've been so confused about what-should-i-do after my campus life. I'm still associates (the cooler word of freelancer) and still have no fixed job. Wish I could have one soon.

Lately, I've been busy with life. Literally, been busy. I worked. I search for a job, but they never call me back, and I guess I know what the problem. And I still thinking to get my master degree sooner than I expected, but in one condition: I should pay it for myself. It's been tough when you're collecting money for your study by yourself. Well, at least I tried, eh?

I plan to take master degree because I don't know what to do. As a very strict person (actually, not very strict, but a little bit strict, I guess) I think I can'nt take some of the jobs out there. I mean, what bachelor degree of psychology can do when the company ask you to do the interpretation of psychological tests, which I can't do that because I have an oath not to do that. So, I plan to take it, so I can have the limitless access on job. After that, I think I want to be a forensics. It just came to my mind, blame my impulsive brain. I can't handle it. But, become a forensics sounds so cool, right?

Speaking of limitless, as an unempolyement, I tried my best to make myself busy (yeah, right, busy). So, I decided to walk around the web; Watched some movies, series, (mostly I wasted my time on Youtube, and I've been on the other side or weird-youtube, for many times); Listening to music; Try not to spend some money when I'm with my friends; Be active on social media (sorry if I disturb you with all the double-tap on your posts); Minecrafting (I know, please don't judge me); and dreaming. Dreaming is the most important of life.

Well, back to the title, I found a series that you might like. It called Limitless. It has a connection with Limitless movie where Bradley Cooper played as the main actor. I haven't watched the movie version, but I really interested on this series because it has 8.5 point on IMDb.


Well, the story began when Brian Finch (Jake McDorman), let's say it, be a loser. I mean, he don't have a fixed job. His bandmates leave one by one. His dad sick. And everything worst that can become every man worst nightmare. Until, he met his old friend and introduce him to a drug called NZT. Shortly after, his life changes. He can maximize the capability of his brain, which is sound so great.

Well, should admit that I like this show because Jake McDorman is hot. I mean, who can handle a man with sexy beard in a show? Furthermore, Bradley Cooper is on the show too, for a couple second. So, it makes this show is a-must-watched-series-this-fall. LOL JK. This is actually a good show. Eventhough it's like Almost Human, but in human version. I don't have a high expectation on this show, turns out to be great, and I haven't watched the movie version. So, I think I will watch the movie version for sure.

I think that's it. Be sure to watch this series on your leisure time because it's worth it..

Kamis, 14 Mei 2015

Anak Psikologi Banyak Omong/Nanya?

"Eh, Rang. Kok anak psikologi tuh banyak bacotnya sih? Nanya-nanya mulu. Gue males pacaran sama anak psikologi"

Begitu lah statement yang keluar dari salah satu teman perempuan non-psikologi ku. Mungkin bukan dia aja yang menganggap anak psikologi banyak bacot, akupun sebagai anak yang kuliah di jurusan psikologi terkadang agak annoyed sama bacotan beberapa anak yang emang annoying.

Mungkin berawal dari konsep kalau anak psikologi mau ngapa-ngapain, harus balik lagi ke tujuan (setidaknya itu sih yang aku pelajarin di fakultas psikologiku). Mau bikin acara, tujuan harus jelas. Mau bikin pensi (pensi....masih usum istilah pensi?) harus jelas tujuannya, kegunaannya buat apa. Mau bikin seminar yang nambah ilmu pun harus jelas tujuan (dan kegunaan). Mungkin ini salah satu alasan kenapa anak-anak psikologi yang skripsian itu lama kelarnya (ini ga nyambung sih, dan aku ngerasa kelamaan aku bukan karena itu). Balik lagi ke topik, ya, memang segala yang akan dilakukan harus jelas si tujuan dan kegunaan (selanjutnya akan disingkat menjadi TK, karena agak males nulisnya -tapi belum tentu sih kombinasi kata tersebut akan muncul lagi).

Kita lanjut ke contoh konkret aja yang pernah aku alami. Saat itu angkatan aku bikin acara buat kenal sama orang-orang fakultas. Tiap malem kalau sharing sama angkatan atas pasti ditanyain tujuan. Setiap kita ngasih tujuan, pasti (sebenernya ga pasti) akan dipatahkan. Kaya misalnya: "Tujuan acara kita buat kenal sama sivitas akademik", bantahannya adalah "Kenal? Buat apa kenal? Kan kita ga nyuruh kalian buat kenal sama kita". Sepengalamn sih banyak kata umpatan yang berputar di dalam kepala aku. Tapi, hal itu jadi kebiasaan dan pada akhirnya aku sih ngerasa ngegituin anak angkatan bawah.

Tapi, sisi terangnya adalah anak psikologi banyak nanya atau omong itu biasanya dilandasi sama logis ga nih? Ya, mungin ga segampang itu penjelasannya. Tapi aku selalu bilang itu ke temen yang suka nanya penjelasan kenapa anak psikologi itu annoyingly charming (?)

Well, mungkin selanjutnya jadi kepikiran buat curhat kenapa anak psikologi itu suka jadi wacana-ers...